Uni Afrika Minta Dunia Cabut Pembatasan Perjalanan Terkait Varian Omicron

Uni Afrika, sebuah badan kontinental yang terdiri dari 55 negara, merilis pernyataan yang mendesak dunia untuk menghapus perbatasan perjalanan akibat varian Omicron pada beberapa negara di Afrika pada Selasa, 7 Desember 2021.

Langkah pembatasan itu dianggap “Sebagai disinsentif untuk berbagi informasi di masa depan, berpotensi menimbulkan ancaman bagi keamanan kesehatan di benua itu dan secara global,” kata Uni Afrika dalam sebuah pernyataan.

Hampir dua minggu setelah Afrika Selatan mendeteksi varian Omicron baru, para pemimpin Afrika menyebut larangan perjalanan yang diberlakukan ke negara-negara Afrika itu diskriminatif dan tidak adil. Meskipun varian Omicron terdeteksi di lebih dari 40 negara, termasuk Amerika Serikat dan di seluruh Eropa, larangan perjalanan serupa belum diberlakukan terhadap negara-negara non-Afrika.

Namun, angka Covid-19 tetap jauh lebih tinggi di Eropa dibandingkan di seluruh Afrika Selatan. Pada 7 Desember, Inggris mencatat lebih dari 50.000 kasus baru, sedangkan Afrika Selatan mencatat 6.400. Hal ini menyebabkan beberapa pemimpin Afrika menyebut larangan itu diskriminatif.

“Sekarang Omicron telah ditemukan di banyak negara non-Afrika dan negara maju, mengapa perjalanan dari negara-negara itu tidak dilarang?” tulis Akinwumi Adesina, presiden Grup Bank Pembangunan Afrika dalam unggahannya di Twiter.

Pada 25 November 2021, Afrika Selatan memperingatkan dunia tentang varian baru Covid-19 yang terdeteksi di negara tersebut. Sejumlah negara langsung menerapkan larangan dan pembatasan penerbangan karena kekhawatiran penyebaran kasus varian Omicron dari Covid-19, yang dianggap sangat menular.

Sehari kemudian, Inggris menempatkan enam negara Afrika, termasuk Botswana, Eswatini, Lesotho, Namibia, Afrika Selatan, dan Zimbabwe dalam ‘daftar merah’ perjalanannya. Uni Eropa, AS dan Kanada serta banyak negara lain segera mengikutinya.

Sejak itu, Inggris telah memperpanjang larangan ke Angola, Malawi, Mozambik, Nigeria dan Zambia. Di bawah batasan ini, pengunjung yang bisa memasuki Inggris Raya jika hanya mereka adalah Warga Negara Inggris atau Irlandia atau memiliki hak tinggal. Inggris juga telah menangguhkan aplikasi visa dari negara-negara daftar merah.

Selain itu, beberapa negara telah menerapkan langkah-langkah pengujian yang lebih ketat di negara-negara Afrika Selatan. Kanada tidak lagi menerima hasil tes Covid-19 dari 10 negara Afrika sehingga mengharuskan pelancong mendapatkan tes dari negara ketiga sebelum masuk.

Komisaris tinggi Nigeria untuk London, Sarafa Tunji Isola telah mengecam larangan itu sebagai “apartheid perjalanan”. Penutupan perbatasan tak hanya sangat tidak adil dan menghukum, tetapi juga tidak efektif.

Larangan perjalanan ini telah memberikan pukulan bagi sektor pariwisata di kawasan itu. Afrika Selatan memiliki industri pariwisata terbesar kedua di Afrika dan menyumbang hampir 7 persen dari PDB dan mempekerjakan lebih dari 1 juta orang.

Pada Juli, Dewan Perjalanan & Pariwisata Dunia (WTTC,) melaporkan bahwa ekonomi Afrika Selatan dapat menghadapi kerugian lebih dari ZAR 181 juta atau 11,4 juta dolar setiap pekan jika tetap berada dalam daftar merah Inggris.

Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa menyerukan pencabutan segera larangan tersebut dan meminta negara-negara untuk membatalkannya “Sebelum kerusakan lebih lanjut terjadi pada ekonomi,” ujarnya.

Sementara itu, di Malawi, presiden dan ketua SADC (Southern Africa Development Community) Lazarus Chakwera menganggap pembatasan perjalanan baru akibat varian Omicron itu afrophobic. “Larangan perjalanan sepihak yang sekarang diberlakukan di negara-negara SADC oleh Inggris, UE, AS, Australia, dan lainnya tidak beralasan,” katanya. “Tindakan Covid harus didasarkan pada sains, bukan afrophobic.”

ANDINI SABRINA | REUTERS | QUARTZ AFRICA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *